AHLAN WA SAHLAN

AHLAN WA SAHLAN
HIASI HARI DENGAN SENYUM 
BELAJAR BERBUAT UNTUK ORANG LAIN
SEMOGA ALLAH MEMBERI RAHMAT
KEPADA SEMUA UMATNYA YANG IHLAS



Selasa, 08 Juli 2008

Syahadat Sebagai Kekuatan

Kebahagiaan hidup merupa kan dambaan setiap insan. Bagaimanapun buruk dan jahatnya perangai serta karakter seseorang, dalam sanubarinya yang paling dalam, tetap dia menginginkan kebahagiaan hidup dalam setiap jejak langkah kakinya. Bagi individu muslim kebahagiaan serta ketenteraman batin hanya bisa diperoleh lewat iman yang paripurna. Permasalahannya sekarang adalah: " Apakah iman itu dapat dipertahankan stabilitasnya?" Sebagai manusia biasa yang terkadang dininabobokan oleh berbagai rutinitas hidup, kita seringkali lupa akan eksistensi diri kita sebaagai hamba Allah swt.

Menyadari betapa besarnya tantangan dan godaan yang dilalui oleh setiap insan seperti inilah yang menyebabkan Rasulullah saw jauh-jauh hari telah memberikan peringatan pada ummatnya, bahwa keimanan seseorang akan mudah berubah setiap saat, naik turun, bertambah dan berkurang. Iman akan naik bila seorang hamba selalu hadir dalam keta'atan di hadapan penciptanya. Sebaliknya, iman akan terus berkurang bila memang dia berbalik menjauhi Tuhannya dengan selalu melakukan maksiat pada Sang Khaliq. Untuk itulah Rasulullah saw bersabda:" Perbaharuilah imanmu dengan kalimat `laa ilaahaillallah."

Berbicara mengenai kalimat syahadat pada zaman di mana kaum muslimin di berbagai belahan dunia telah mengalami kemunduran dalam segala sektor kehidupan, seakan telah kehilangan makna dan getarannya. Ummat Islam seperti telah kehilangan wibawa sehingga begitu mudah diombang-ambingkan oleh permainan pihak lain. Padahal inilah kunci kemenangan Islam. Syahadat inilah yang menggetarkan Jazirah Arab ketika pertama kali Islam disebarkan oleh Nabi. Bulu kuduk orang kafir berdiri, nyalinya ciut, hatinya bergetar penuh ketakutan begitu mendengar seruan syahadat.

Namun sangat disayangkan, kalimat itu juga yang kita teriakkan sekarang, namun justru tidak memiliki daya getar dan kehilangan rohnya yang paling substansial. Akhirnya jadilah ummat Islam dikebiri dan terpinggirkan dalam segala lapangan kehidupan.

Inilah tanda tanya besar yang harus segera dijawab oleh kaum muslimin. Kenapa hal ini menimpa mereka. Kalimat "Laa ilaaha illallah" sering hanya diartikan secara pasif: "Tidak ada Tuhan selain Allah." Sehingga mengakibatkan banyak orang telah bersyahadat, tetapi pola hidupnya masih meniru gaya orang kafir, baik ucapan maupun perbuatannya. Padahal sesungguhnya kalimat ini sangat aktif. Sebab "Laa" di sini berfungsi sebagai Laa nafyu lil jinsi yang artinya menghilangkan segala jenis ilah. Ibnu Katsir memberikan penafsiran kata ilah dengan: yang menenteramkan batin, yang melindungi, yang gelisahkan jiwa jika berpisah, yang memperbudak dan rela diperbudak serta yang tersembunyi yaitu cita dan cinta. Jadi orang yang bersyahadat berarti telah berikrar untuk menghilangkan segala jenis ilah yang dapat menenteramkan, menggelisahkan dan mencemaskan hati jika berpisah, serta memperbudak dirinya selain Allah semata. Wanita, umpamanya, dia mampu menjadi penenteram hati bagi laki-laki, membuatnya terbuai dalam dekapan rayuan mautnya. Begitupun dengan harta dan tahta mampu membius manusia melupakan tujuan hidupnya.

Maka jelaslah, bahwa bagi seorang muslim haram hukumnya bila lebih mencintai harta, kedudukan dan wanita dari pada mencintai Allah swt. Dengan syahadat seorang muslim melakukan transaksi langsung, bersumpah setia dan mengikat janji kepada khaliq bahwa tiada lagi yang berhak mengatur segala aktifitas hidupnya melainkan Allah swt semata. Dia-lah yang memiliki kekuasaan mutlak di mana semua makluk tunduk dalam aturan main-Nya. Sebagai pencipta adalah sangat wajar bila kemudian dia mengetahui secara pasti seluk-beluk makhluk yang dibuat-Nya. Karena itu Dia-lah sumber kehidupan yang diagungkan, diangkat dan dibesar-besarkan serta dipuja setiap kesempatan. Kekuasaan dan kekuatan yang dimiliki manusia sungguh tidak layak untuk dipamerkan di hadapan Allah swt. Kesadaran seperti inilah yang terlahir dari generasi Islam hasil tarbiyah ilahiyyah dan didikan Rasulullah saw ketika menerima wahyu pertama, yaitu surat Al-Alaq. Keyakinan bahwa Allah sajalah sumber kehidupan dan kematian, yang memiliki kekuasaan dan kemuliaan, di mana posisi dan kedudukan-Nya mengatur pergerakan alam semesta dan segala isinya, sehingga di tangan-Nyalah seluruh kekuasaan terhimpun. Mutlak dan tidak dapat diganggu-gugat. Sebaliknya, eksistensi dan keberadaan manusia, hakekatnya adalah sama, berasal daru sesuatu yang hina, yaitu dari gumpalan darah yang menggantung. Apa yang kita kenal dengan istilah sperma. Kesadaran seperti inilah yang melahirkan sikap egaliter (persamaan) di antara sesama manusia sehingga setiap orang dapat duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Pangkat dan jabatan tidak membuat seseorang mulia di hadapan Allah swt, begitu pula dengan harta dan kekuasaan, tidak akan memiliki nilai yang berarti selama dia ingkar terhadap keputusan ilahi. Pekerjaan yang di mata manusia terlihat remeh, bahkan dianggap hina akan memiliki kualitas penilaian yang sangat tinggi bila disertai dengan ketulusan pengabdian di hadapan Allah swt. Seorang tukang sapu misalnya, bila gerakannya diawali dari kalimat suci laa ilaaha illallah, maka pekerjaannya bernilai surgawi dalam catatan malaikat. Sebaliknya walaupun dia bintang film sekaliber Madonna, pangeran, dan kaisar yang dipuja dan disanjung-sanjung oleh setiap orang, selama amal perbuatannya tidak dilandasi oleh kalimat thayyibah ini, selamanya dia akan hina di sisi Allah swt. Karenanya penilaian seseorang, bukan pada harta, tahwa dan jabatan yang dia peroleh melainkan pada kualitas takwa yang dimilikinya, inna aqramakum indallahi atqakum. Keyakinan seperti ini telah menancap kuat dalam sanubari para sahabat sehingga mereka tidak gentar menghadapi kecongkakan Abu Jahal, tidak mau tunduk di bawah ketiak Abu Sofyan serta tidak terbuai oleh tawaran kemewahan Umayyah, sang penguasa dan konglomerat di Kota Mekkah. Sungguh tidak ada lagi yang mereka takutkan dan cemaskan,kecuali berpisah dari Allah swt. Berpisah dari rahim-Nya, dari pertolongan dan kasih sayang-Nya. Dialah satu-satunya Dzat yang memiliki kekuasaan yang hakiki, di mana tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, yang setiap saat bisa mencabut Abu Jahal dan Abu Lahab. Kalau sudah begini siapa lagi yang ditakutkan di dunia ini? Begitu kukuhnya keyakinan itu sehingga siksaan dan teror dari kafir Quraisy seakan sudah tidak diperdulikan lagi. Beginilah potret keimanan generasi pertama, yang memahami syahadat secara benar dan utuh, rela nyawanya dikorbankan untuk mempertahankan sumpah setia yang telah dia teken di hadapan Allah swt. Tapi ummat Islam sekarang, sungguh sangat pengherankan, sekadar menampakkan identitas keimanannya saja sudah grogi, takut dituduh primordial dan sektarian. Wajar bila kemudian kaum muslimin kehilangan jati diri dan identitas yang seharusnya mereka pertahankan mati-matian.

Ikatan syahadat tidak boleh lepas dari pundak seorang muslim, bila itu terjadi berarti ia merelakan dirinya untuk kembali terjajah dalam perbudakan yang memenjara kebebasannya. Karenanya tidak ada pilihan lain kecuali mempertehankan proklamasi yang telah ia kumandangkan. Bila ada yang menganggu ikrar itu apalagi menentangnya, sama artinya dengan mengajak duel secara terbuka.

Untuk itu dia rela meneteskan darah dan air mata untuk mempertahankan buhul syahadat dalam genggamannya. Allah swt berfirman: " Barangsiapa yang mengingkari Thaghut dan beriman keada Allah, maka dia benar-benar telah berpegang dengan buhul tali yang kokoh dan teramat kuat serta tidak akan pernah putus , dan Allah Maha mendengar dan melihat.". (QS, Al-Baqarah:256)