AHLAN WA SAHLAN

AHLAN WA SAHLAN
HIASI HARI DENGAN SENYUM 
BELAJAR BERBUAT UNTUK ORANG LAIN
SEMOGA ALLAH MEMBERI RAHMAT
KEPADA SEMUA UMATNYA YANG IHLAS



Selasa, 08 Juli 2008

Ibunda, Manusia Paling Berjasa

Seorang lelaki, seperti dikisahkan oleh Abu Huroiroh ra datang dan bertanya, “Duhai Rosululloh, siapakah orang yang paling berhak mendapat perlakuan baik dariku?” Nabi SAW menjawab, “Ibumu” “Lalu siapa?” tanya lelaki itu. “Ibumu” jawab Nabi SAW. “Lalu siapa?’ tanya lelaki itu lagi. Dan untuk ketiga kalinya Nabi SAW menjawab, “Ibumu” lelaki itu masih bertanya, “Lalu siapa?” Nabi SAW menjawab, “Ayahmu”HR Bukhori. Ketika haji Wada’ maka yang pertama kali keluar dari sabda Rosululloh SAW adalah, “Sesungguhnya Alloh mewasiatkan para ibu kalian kepada kalian”HR Thobaroni.Jika memiliki uang sejumlah seratus ribu rupiah lalu anda berkehendak memberikannya kepada kedua orang tua maka sejumlah tujuh puluh lima ribu harus anda berikan kepada ibunda dan sisanya merupakan jatah ayahanda. Artinya jika berbakti kepada kedua orang tua merupakan suatu kewajiban yang menjadi kunci sukses hidup dunia akhirat maka perlu dimengerti bahwa ibunda harus mendapat perhatian 3/4 dari nilai bakti anda sementara 1/4 nya adalah jatah ayahanda. Demikian makna tersirat yang bisa diambil dari tiga kali penyebutan Rosululloh SAW terhadap “Ibunda” dan satu kali penyebutan “Ayahanda”. Penyebutan tiga kali “Ibumu” juga bisa difahami sebagai suatu langkah peringatan agar manusia betul – betul memahami dan menghargai peran ibunda. Sebab bisa jadi manusia lebih mudah durhaka kepada ibunda daripada durhaka kepada ayahanda karena merasa jasa ayahanda lebih besar. Sebab ayahanda bekerja keras mencari nafkah untuk menghidupi seluruh keluarga sementara ibunda hanya di rumah memasak, mencuci atau membersihkan dan merapikan rumah.. Anggapan seperti ini memang kerap kali muncul yang akibatnya manusia kurang menyadari jasa besar ibunda yang selanjutnya juga kurang memperhafikan bakti kepada ibunda. Untuk itulah Alqur’an mengingatkan:

وَوَصَّيْنَا اْلإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِى عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيْرُ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertumpuk – tumpuk dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepadaKu lah tempat kembali” QS Luqman: 14.

Penyebutan tiga kali “Ibumu” juga merupakan tindakan antisipasi terhadap bahaya besar apabila seorang anak tidak berbuat baik kepada ibunda. Sebab seperti dimaklumi bahwa wanita dengan segala kelebihan, kekurangan dan kelemahan lebih cepat marah dan cenderung kurang mampu untuk menahan derita akibat keburukan prilaku anak sehingga ucapan – ucapan yang bernada negatif pun dengan mudah keluar yang sebenarnya tanpa disadari bahwa ucapan tersebut tiada lain adalah do’a keburukan atas anak dan seperti diyakini bahwa do’a orang tua terhadap anak seperti do’a Nabi terhadap umatnya, apalagi ini dalam konteks anak sedang berbuat aniaya kepada orang tua, tentu do’a tersebut akan semakin mudah mengetuk dan membuka pintu Ijaabah (pengkabulan). Na’udzu Billaah.

Kembali pada penafsiran kedua, hak ibu terhadap anak jauh lebih besar dibanding dengan hak ayah juga terlambang dalam kisah ketika seorang lelaki datang dan bertanya, “Wahai Rosululloh, sungguh saya telah menggendong ibu sejauh dua Farsakh di jalanan pasir yang sangat panas yang andaikan segumpal daging saya taruh di atasnya (pasir tersebut) niscaya akan matang. Apakah (dengan begitu) saya telah menyampaikan rasa terima kasih kepadanya?” Nabi SAW menjawab:

لَعَلَّهُ أَنْ يَكُوْنَ لِطَلْقَةٍ وَاحِدَةٍ

“Mungkin sekali hal itu hanya (sebagai rasa terima kasih) untuk sedikit rasa sakit kala melahirkan”HR Thobaroni

Suatu ketika Ibnu Umar ra melihat seorang lelaki dari Yaman yang sedang berthowaf dengan menggendong ibunya. Mengetahui bahwa orang yang ditemuinya adalah seorang Ibnu Umar maka lelaki itu bertanya, “Apakah dengan seperti ini saya telah membalas kebaikan ibuku?” Ibnu Umar ra menjawab, “Sama sekali belum. Bahkan belum bisa membalas jasa ibumu yang berupa sekali detakan nafasnya (kala ia mengandung, melahirkan dan menyusui dan merawatmu” Penghargaan yang sangat tinggi tiada ternilai juga membuat sebagian orang Arab tempo dulu mampu menggendong ibunya untuk berhaji. Rasa berhutang budi kepada ibu yang sangat tinggi juga memotivasi cucu Rosululloh SAW Hasan ra untuk tidak berani makan bersama ibundanya Fathimah al Batuul binti Rosulillah SAW. Ditanya oleh ibunya kenapa tidak mau makan bersama, al Hasan ra menjawab, “Saya khawatir tangan saya mendahului memakan makanan yang telah terlihat dan menarik selera engkau” mendengar ini Fathimah az Zahro’ terharu dan berkata kepada anak yang secara fisik mirip sekali dengan Rosululloh SAW, “Apa yang diambil oleh tanganmu itu halal bagimu” sesudah itu Hasan ra baru mau makan bersama ibundanya.

Begitu besar hak seorang ibu terhadap anak menjadikan berbakti dan berbuat baik kepada ibunda jauh lebih utama bagi anak daripada berjihad fi sabilillah. Tholhah bin Muawiyah as Sulami ra berkisah: Aku datang kepada Rosululloh SAW dan bertanya, “Saya ingin berjihad di jalan Alloh” Nabi SAW bertanya, “Apakah ibundamu masih hidup?”Atho’ mengangguk hingga Nabi SAW lalu bersabda, “(Kalau begitu, tetapilah kakinya (berbaktilah kepada ibumu!), di sanalah surga berada”HR Thobaroni. Jahimah datang dan bertanya, “Wahai Rosululloh, saya ingin berperang dan sungguh saya datang ke sini untuk meminya pendapat” Nabi SAW bertanya, “Apakah kamu masih mempunyai ibunda?” Jahimah mengangguk dan Nabi SAW bersabda, “(Kalau begitu) tetapilah dia sebab surga ada di antara kedua kakinya”HR Ibnu Majah. Nabi SAW juga pernah bersabda:

الْجَنَّةُ تَحْتَ أَقْدَامِ اْلأُمَّهَاتِ

“Surga di bawah telapak kaki para ibu”HR Khothib al Baghdadi – al Qudho’i.

Jasa – jasa ibunda yang berlaksa tak ternilai dengan emas permata menjadikan anak harus mengeluarkan segala usaha untuk bisa sedikit membalas. Salah satu usaha tersebut adalah seperti dituturkan Alqur’an dengan berkata baik dan lemah lembut. Untuk hal ini saja seorang anak sudah harus berjuang, sebab berkata lemah lembut dalam situasi normal adalah hal yang mudah,akan tetapi dalam kondisi tidak normal semisal saat ibu berbuat sesuatu yang menjadikan anak jengkel maka tentu untuk bertutur kata halus bukan suatu yang mudah. Hanya pertolongan Alloh yang membuat manusia mampu melakukannya. Selain itu, menuruti keinginan orang tua (ibunda) dan tidak membantah perintah juga demikian halnya. Semuanya akan mudah dilakukan jika keinginan itu sejalan dengan keinginan anak atau perintah itu tidak memberatkan anak. Keadaan pasti lain ketika ternyata keinginan orang tua berseberangan dengan keinginan anak atau perintah orang tua begitu memberatkan anak. Dalam kondisi seperti ini, kearifan dan keluasan wawasan sangat berpengaruh terhadap sikap yang harus diambil. Seorang anak yang arif dan mengerti tentu akan bercermin dan melihat apakah perintah yang terasa berat itu sejalan dengan perintah Alloh atau tidak. Jika sejalan maka tak ada alasan untuk tidak menjalankan. Tetapi jika bertentangan maka perlu keteguhan jiwa untuk tidak menuruti perintah ibunda.

Hal itulah yang dialami oleh Sa’ad bin Abi Waqqosh ra. Mengetahui dirinya masuk Islam, ibunya berkata mengancam, “Hai Sa’ad, agama baru apakah yang kamu peluk. Kamu tinggalkan agama itu atau aku tak akan makan dan minum sampai mati sehingga kamu dikatakan sebagai seorang yang membunuh ibunya!” ternyata benar, ibunda Sa’ad akhirnya melakukan aksi mogok makan sehingga tubuhnya menjadi lemah. Melihat itu, Sa’ad bin Abi Waqqosh, meski sebelumnya dikenal sebagai seorang yang sangat berbakti kepada ibunda, dengan sangat teguh mendekat dan berkata, “Demi Alloh, andai ibu memiliki seratus nyawa kemudian keluar satu persatu maka aku tak akan pernah meninggalkan agama ini selamanya. Terserah, ibu mau makan atau tidak” melihat keteguhan Sa’ad, sang ibunda akhirnya menyerah dan menghentikan aksinya. Kasus inilah yang melatar belakangi turunnya firman Alloh:

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَالَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا ...

“Dan apabila keduanya memaksamu untuk mempersekutukanKu dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu maka jangan turuti mereka...”QS Luqman: 15.

Sikap Sa’ad ra ini sungguh perlu dijadikan sebagai pelajaran dan pegangan bagi setiap orang khususnya seorang anak yang memang terkadang mendapat perintah sesuatu atau melihat hal pada orang tua yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan umumnya bagi siapa saja yang merasa telah banyak berhutang budi kepada orang lain. Jangan sampai karena berhutang budi lalu lepas kontrol dan mudah menuruti segala keinginan orang tersebut tanpa terlebih dahulu mencermati apakah keinginan itu dibenarkan syariat atau tidak. Sungguh manusia memang sangat lemah bila berhadapan dengan orang yang telah berbuat baik kepadanya sehingga ia sama sekali diam meski melihat orang yang berbuat baik kepadanya telah berbuat dosa. Memang untuk bertindak sesuatu yang bertentangan dengan keinginan orang yang telah berjasa bukanlah hal yang mudah, tetapi jika diam saja maka kedua belah pihak justru terkena dampak negatifnya. Tidak mudah berarti sulit dan bukan hal yang tidak mungkin. Ingatlah kisah di tengah malam saat seorang anak gadis berkata kepada ibunya agar jangan mencampur susu dengan air. Ucapan pencegahan anak gadis tersebut rupanya terdengar oleh kholifah Umar ra yang kebetulan lewat dan tanpa sengaja mendengar percakapan anak gadis dan ibundanya hingga keesokan hari Umar ra datang ke rumah tersebut untuk melamar si gadis sebagai menantunya.

Tidak ada komentar: